Bersepakat simpan idealis untuk kali
ini, kalau bisa sekarang kenapa harus tunggu nanti yang bersifat tak pasti. Beberapa
hari ada keinginan berkunjung ke Cimahi, merasa bersalah kepada Berlin dan
lainnya karena tiba-tiba kabur tanpa ada cerita menyusul. Sebenarnya sudah
kasih clue di postingan ini (Stop Worrying) sebelum cabut.
Dari sebelum-sebelumnya sangat bisa ke Cimahi kapan pun, namun tidak pernah ada eksekusi karena idealisme mengontrol. Merasa belum menemukan moment untuk kesana, padahal tahu tidak ada yang butuh itu. Masa bodo sesaat membuat gue pesan tiket kereta Bekasi-Cimahi. Baiklah, tumpukan cerita akan dibawa untuk mendapat pengampunan dari seorang teman. Terlebih selama ini mereka bahkan Berlin tidak pernah tahu gue, hanya sebatas permukaan yang kadang gue percantik sebagai sajian hidangan. Manusia satu ini sangat lihai menjaga pintu tetap terkunci untuk seluruh perkara dirinya. It happened like years ago, cukup lama hingga bisa dikatakan expert.
Berlin bawa gue ke pedagang bunga pinggir jalan untuk nyekar ke makam Pak Sutejo. Bersua dalam sanubari meminta maaf kepada Bapak dan semua pihak temasuk diri gue atas setiap langkah yang diambil. Tidak ada penyesalan melainkan rasa syukur untuk keberanian berbenah dan memperkokoh sebelum melanjutkan berlari. Maaf yang terlintas adalah bentuk menghormati. Berbicang dengan Ibu sutejo selepas nyekar menyadarkan gue bahwa perempuan harus berpendidikan dan berwawasan luas.
Burger Bangor menjadi pilihan makan siang kami. Burger yang memberikan kepuasan pada patty-nya ini layak dicoba. Lanjutan cerita dari malam sebelumnya memenuhi seluruh ruang restoran, hingga mata perih sebagai konsekuensi harus ditanggung dengan malu. Belum lagi crew resto memberikan dukungan melalui playlist yang menyesuaikan, apapun interprestasinya tidak lah jadi masalah yang patut dilihat adalah pedulinya mhuahaha.
Selanjutnya berlin bawa gue ke Selasar Sunaryo berlokasi di Dago Atas, sayang sekali niat ingin menikmati karya seni mesti diurungkan karena tempat sedang di booking pihak luar dan tidak buka untuk umum dihari itu. Teringat dalam perjalan tadi melihat Massimo Gelato maka kami memutuskan untuk kesana, lokasinya menyatu dengan District Dago Cafe & Resto. Ice cream adalah pilihan terbaik dalam situasi apa pun, namun masalah varian rasa yang akan kita pilih harus berada dalam keputusan yang tepat. Penyesalan masih terasa akibat terpengaruh oleh kalimat yang terlontar dari mulut Berlin. Seharusnya yang menjadi pilihan adalah vanilla cintaku tapi malah memilih rasa asing yang tidak bisa dinikmati.
Nongki dicafe teman yang baru buka beberapa minggu, menjadi pilihan untuk menghabiskan malam. Entah apa yang ada dipikiran mereka gue yang cabut tiba-tiba kembali untuk berkunjung mhuahaha, obrolan terjalin membuat gue extend. Seharusnya gue ambil bus terakhir di hari itu untuk balik karena besok kerja. Tapi balik subuh pun tak masalah.
Sebelum tragedi kabur, awal masuk semester 2 banyak mengeluh kepada realita sistem pendidikan di Indonesia terkhusus pada instansi yang gue berada di dalamnya. Keluhan sudah ada sejak di bangku SMP, semakin naik tingkat semakin banyak pula kekecewaan yang lahir. Menjadi manusia yang berkualitas adalah salah satu alasan gue butuh lembaga pendidikan, namun lembaga-lembaga yang diharapkan hanya mementingkan status formal seperti ijazah dan gelar. Realita mutu yang di dapat jauh dari pada ekspektasi. Cukup menyakitkan, terlebih untuk manusia yang tidak bisa memilih berada di lembaga yang elite yang mungkin bisa memberikan kualitas lebih baik.
Pola sama masih beulang, tenaga pendidik yang hanya aktif memberikan materi dan murid menjadi pasif sebagai penerima materi merupakan faktor utama kekecewaan. Seharusnya tenaga pendidik memotivasi, memfasilitasi dan menemani murid mencari bersama untuk menemukan ilmu. Apabila itu yang terjalin maka belajar tidak akan pernah ada hentinya, bobot ilmu tidak lagi pada hasil akhir namun pada proses mencainya. Dengan itu studi yang diperoleh tidak dijual melaui kontrak kerja demi uang melainkan mampu membawa bangsa cepat sejejar dengan bangsa lain.
Merasa apa yang diberikan kampus bisa didapatkan sendiri adalah titik awal gue memikirkan untuk cabut. Gairah berkembang lebih besar ketimbang gelar dan ijazah. Masanya harus berbeda, butuh yang lebih menantang dengan hasil jangka panjang dan dapat dirasakan banyak pihak. Evaluasi telah dilakukan, membuat list alasan yang bertanggung jawab dan punya pegangan rencana yang jelas cukup membuat gue berani kabur.
By the way.
See you guys on top.
No comments:
Post a Comment