Sunday, February 23, 2020

Rasa Baru (Bercerita Tentang Kematian)




Suatu malam tepatnya dua hari sebelum balik ke Cimahi, gue tidur di kamar pribadi seperti biasa dan melalui hari itu seperti biasa pula. Tapi selepas sholat isya perasaan beda banget dari biasanya bahkan gue bisa katakan ini adalah rasa baru selama hidup (pas ngetik tulisan ini sambil nginget-nginget kegelisahan di malam itu bikin badan lemas dan takut), rasanya aneh banget campur aduk tapi bukan kaya perasaan-perasaan nervous demam panggung. Perasaan yang berisi amarah, takut, tidak ikhlas, kecewa, ingin berontak, di tambah detak jantung yang cepat memperparah keadaan. Gak bisa digambarkan seperti apa jelasnya.


Di sisi lain hati gue mengajak diri secara keseluruhan untuk berdamai dengan perasaan saat itu. Seakan hati gue bilang; tak perlu banyak tanya dan begitu marah serta takut karena semuanya hanya tentang Tuhan yang Mahakuasa Allah subhanahu wa ta’ala. Hati gue masih lanjut bicara, bahkan membentak; siapa kamu seakan tidak ikhlas jika harus berpulang malam ini, jiwa dan raga kamu adalah milik-Nya. Tuhanmu berhak meminta kamu pulang kapan pun bahkan sekalipun kamu memiliki alasan yang sangat mendesak.

Malam itu gua berusaha sekeras mungkin berdamai dengan diri mengikhlaskan semuanya, merendahkan diri serendah-rendahnya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Air mata sudah sedari awal membanjiri mukena yang gue pakai untuk sholat isya sebelumnya.

Dengan perasan demikian gue menyimpulkan dengan sangat takut bahwa keesokan subuh bisa saja gue gak bangun lagi seperti biasa untuk selama-lamanya (meninggal dunia). Sebelum tertidur gue membuat sebuah catatan kecil yang bisa dikatakan sebagai wasiat untuk keluarga tentang pengurusan jenazah gue nanti, selain itu ada permohonan maaf kepada semuanya. Setelahnya gue memutuskan tidur menggunakan mukena, dengan tujuan jika nanti subuh ditakdirkan tidak bangun lagi, setidaknya aurat tetap terjaga meskipun tubuh sudah tak punya kendali lagi untuk menjaga sambil beristighfar hingga terlelap.

---

Pejaman mata terbuka, gue masih sangat ingat apa yang terjadi sebelum tertidur. Saat itu melihat jam berada di sepertiga malam tepatnya satu jam sebelum masuk waktu subuh, bahagia dan sangat bersyukur ternyata gue masih bisa menunaikan ibadah sholat subuh. Karena ada waktu untuk tahajud, gue gak mau kehilangan kesempatan yang siapa tahu itu menjadi tahajud terakhir. Keluar kamar minum segalas air dan ambil wudhu lalu sholat. Hingga selepas sholat pun gue masih menyimpulkan bahwa sepertinya subuh kali ini akan menjadi yang terakhir. Kemudian memasuki waktu subuh seperti hari-hari sebelumnya serta waktu bergulir seperti biasa dan tidak ada apa pun yang terjadi terhadap gue. Sampai pada waktu gue sedang mengepel ruang tamu pukul 07.-- WIB (lupa spesifik lewat berapa menit) keponakan gue terburu-buru nyari nyokapnya yang ada di dapur saat itu. Hati gue deg seakan tahu berita apa yang mau dia sampaikan. Gue berdiri mematung seraya mempersiapkan diri untuk ikut mendengarkan.


Benar adanya, kabar duka menimpa sepupu gue. Tangan memegang lutut menahan lemas dan akhirnya terjatuh duduk ke lantai disebabkan kaki tak mampu berdiri. Dalam hati berkata, ternyata bukan gue atau jangan-jangan dia menggantikan gue. Perasaan sangat bersalah menyelimuti diri terhadap ibu dari almarhum. Gue bangun berjalan menghampiri kakak gue lalu menceritakan apa yang terjadi malam tadi dan menyerahkan catatan wasiat yang gue tulis. Dia menekankan bahwa memang bukan gue yang harus berpulang, tidak ada orang lain menggantikan takdir mati seseorang.

Tiba dikediaman almarhum langsung ambil posisi duduk di samping kirinya. Semua orang menangis, tapi tidak dengan gue. Masih tidak percaya dengan yang terjadi. Sambil membaca Alquran sesekali mengingat apa yang terjadi malam itu dan membayangkan diri sebagai yang terbaring di depan keluarga, hati masih bilang seharusnya gue bukan dia (rasa bersalah masih ada).

Almarhum usianya masih sangat muda hanya beda beberapa tahun dengan gue, dia saat itu sedang berada di semester akhir kuliahnya dan sedang menyusun skripsi untuk bisa mendapatkan gelar sarjana. Tapi seperti yang kita tahu maut datang tiba-tiba.

Peristiwa kala itu sangat memberikan pelajaran besar jangka panjang. Memotivasi untuk membenahi kehidupan dan terus mengajarkan diri hidup ikhlas lillahita'ala.

No comments:

Post a Comment