Suatu malam
tepatnya dua hari sebelum balik ke Cimahi, gue tidur di kamar pribadi
seperti biasa dan melalui hari itu seperti biasa pula. Tapi selepas sholat isya
perasaan beda banget dari biasanya bahkan gue bisa katakan ini adalah rasa baru selama hidup (pas ngetik tulisan ini sambil
nginget-nginget kegelisahan di malam itu bikin badan lemas dan takut), rasanya aneh banget campur aduk tapi bukan kaya perasaan-perasaan nervous demam panggung. Perasaan yang berisi amarah, takut, tidak ikhlas,
kecewa, ingin berontak, di tambah detak jantung yang cepat memperparah keadaan. Gak bisa digambarkan seperti apa
jelasnya.
Di sisi lain hati gue mengajak diri secara keseluruhan untuk berdamai
dengan perasaan saat itu. Seakan hati gue bilang; tak perlu banyak tanya dan
begitu marah serta takut karena semuanya hanya tentang Tuhan yang Mahakuasa
Allah subhanahu wa ta’ala. Hati gue masih lanjut bicara, bahkan membentak; siapa kamu seakan tidak ikhlas jika harus berpulang malam ini, jiwa dan
raga kamu adalah milik-Nya. Tuhanmu berhak meminta kamu pulang kapan pun bahkan
sekalipun kamu memiliki alasan yang sangat mendesak.
Malam itu gua
berusaha sekeras mungkin berdamai dengan diri mengikhlaskan semuanya,
merendahkan diri serendah-rendahnya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Air mata sudah sedari awal membanjiri mukena yang gue pakai untuk sholat isya sebelumnya.
Dengan perasan demikian gue menyimpulkan dengan sangat takut bahwa keesokan
subuh bisa saja gue gak bangun lagi seperti biasa untuk selama-lamanya
(meninggal dunia). Sebelum tertidur gue membuat sebuah catatan kecil
yang bisa dikatakan sebagai wasiat untuk keluarga tentang pengurusan jenazah
gue nanti, selain itu ada permohonan maaf kepada semuanya. Setelahnya gue memutuskan
tidur menggunakan mukena, dengan tujuan jika nanti subuh ditakdirkan
tidak bangun lagi, setidaknya aurat tetap terjaga meskipun tubuh sudah tak punya kendali lagi untuk menjaga sambil beristighfar hingga terlelap.
---
Pejaman mata
terbuka, gue masih sangat ingat apa yang terjadi sebelum tertidur. Saat itu melihat
jam berada di sepertiga malam tepatnya satu jam sebelum masuk waktu subuh, bahagia
dan sangat bersyukur ternyata gue masih
bisa menunaikan ibadah sholat subuh. Karena ada waktu untuk tahajud, gue gak
mau kehilangan kesempatan yang siapa tahu itu menjadi tahajud terakhir.
Keluar kamar minum segalas air dan ambil wudhu lalu sholat. Hingga
selepas sholat pun gue masih menyimpulkan bahwa sepertinya subuh kali ini akan menjadi yang terakhir.
Kemudian memasuki waktu subuh seperti hari-hari sebelumnya serta waktu bergulir
seperti biasa dan tidak ada apa pun yang terjadi terhadap gue. Sampai pada waktu
gue sedang mengepel ruang tamu pukul 07.-- WIB (lupa
spesifik lewat berapa menit) keponakan gue terburu-buru
nyari nyokapnya yang ada di dapur saat itu. Hati gue deg seakan tahu berita apa yang
mau dia sampaikan. Gue berdiri mematung seraya mempersiapkan diri untuk ikut mendengarkan.
Benar adanya, kabar duka menimpa sepupu gue. Tangan memegang lutut menahan lemas dan akhirnya terjatuh duduk ke lantai
disebabkan kaki tak mampu berdiri. Dalam hati
berkata, ternyata bukan gue atau jangan-jangan dia menggantikan gue. Perasaan sangat bersalah menyelimuti diri terhadap
ibu dari almarhum. Gue bangun berjalan menghampiri kakak gue lalu menceritakan apa yang terjadi malam tadi dan menyerahkan catatan wasiat
yang gue tulis. Dia menekankan bahwa memang
bukan gue yang harus berpulang, tidak ada orang lain menggantikan takdir mati
seseorang.
Tiba dikediaman almarhum langsung ambil posisi duduk di samping kirinya. Semua orang
menangis, tapi tidak dengan gue. Masih tidak percaya dengan yang terjadi. Sambil membaca Alquran sesekali mengingat apa yang terjadi malam itu dan
membayangkan diri sebagai yang terbaring di depan keluarga, hati masih
bilang seharusnya gue bukan dia (rasa bersalah masih ada).
Almarhum usianya masih sangat muda hanya beda beberapa tahun dengan gue, dia
saat itu sedang berada di semester akhir kuliahnya dan sedang menyusun skripsi
untuk bisa mendapatkan gelar sarjana. Tapi seperti yang kita tahu maut datang
tiba-tiba.
Peristiwa kala
itu sangat memberikan pelajaran besar jangka panjang. Memotivasi untuk membenahi kehidupan dan terus mengajarkan diri hidup ikhlas lillahita'ala.